Rabu, 28 Desember 2011
Senin, 19 Desember 2011
Kemuliaan Sholat Tahajud
Ditulis Oleh: Habib.Munzir Almusawa
Tuesday, 11 October 2011
عَنْ أَمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَيْقَظَ لَيْلَةً فَقَالَ سُبْحَانَ اللهِ مَاذَا أُنْزِلَ اللَّيْلَةَ مِنَ اْلفِتْنَةِ مَاذَا أُنْزِلَ مِنَ الْخَزَائِنِ مَنْ يُوْقِظُ صَوَاحِبِ الْحُجُرَاتِ ؟ يَارُبَّ كَاسِيَةٍ فيِ الدُّنْيَا عَارِيَةٍ فيِ اْلآخِرَةِ
(صحيح البخاري)
“ Dari Ummu Salamah RA, dia berkata: Pada suatu malam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terbangun lalu berkata : “Subhanallah, fitnah apakah yang diturunkan di malam hari, dan perbendaharaan apakah yang diturunkan pada orang yang membangunkan para penghuni kamar, dan berapa banyak orang yang mengenakan pakaian di dunia, tapi telanjang di akhirat". ( Shahih Al Bukhari)
Limpahan puji kehadirat Allah subhanahu wata’ala Yang Maha Luhur, dengan kehadiran kita di majelis yang mulia ini, dan semoga dengan majelis yang mulia ini dan majelis-majelis dzikir dan majelis ta’lim yang kita hadiri kita juga termuliakan untuk menuju keluhuran.
Maha Suci Allah subhanahu wata’ala Yang Maha membuka rahasia rahmat-Nya sehingga Allah subhanahu wata’ala Yang Maha Dermawan menyiapkan bumi beserta isinya untuk keturunan nabi Adam As untuk mereka olah, dan sampailah kita pada malam yang agung ini dalam anugerah-anugerah yang bersifat rohani yang membawa ketenangan jiwa, serta membuka kunci kemakmuran di dunia dan akhirat, dan semakin jauh seorang hamba dari Allah subhanahu wata’ala maka akan semakin banyak musibah yang akan datang menimpanya, dan sebaliknya semakin seseorang dekat kepada Allah subhanahu wata’ala maka semakin banyak musibah yang akan disingkirkan oleh Allah, maka beruntunglah hamba yang ingin mendekat kepada Allah subhanahu wata’ala, karena Allah akan lebih mendekat kepadanya, sebagaimana firman-Nya dalam hadits qudsi :
وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلّيَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِيْ يَمْشِيْ أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً
“ Jika dia (hamba-Ku) mendekat kepada-Ku satu jengkal maka Aku mendekat kepadanya satu hasta, jika ia mendekat kepada-Ku satu hasta maka Aku mendekat kepadanya satu depa, dan jika ia mendatangi-Ku dengan berjalan maka Aku mendatanginya dengan bergegas”.
Jika telah muncul dalam diri seseorang keinginan untuk mendekat kepada Allah maka ketahuilah di saat itu Allah juga ingin mendekat dengannya. Diumpamakan ada suatu pesta besar yang diadakan oleh seorang pemimpin atau orang yang sangat kaya raya dan dermawan sehingga segala macam hidangan disiapkan, begitupula keadaan kita di majelis ini dimana Allah subhanahu wata’ala sedang menjamu kita dengan hidangan-hidangan yang kita ketahui dan yang tidak kita ketahui . Allah subhanahu wata’ala melimpahkan rahmat-Nya di setiap waktu, akan tetapi ada waktu-waktu tertentu yang mana layak dan seharusnya kita memohon dan berdoa di waktu-waktu tersebut agar kita dijauhkan dari musibah dan mendapatkan banyak anugerah, dan diantaranya adalah di majelis-majelis seperti ini maka perbanyaklah berdoa dan meminta kepada Allah subhanahu wata’ala. Dan juga sebagaimana hadits yang kita baca tadi, dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di suatu malam terbangun untuk melakukan qiyamul lail, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
سُبْحَانَ اللهِ مَاذَا أُنْزِلَ اللَّيْلَةَ مِنَ اْلفِتْنَةِ مَاذَا أُنْزِلَ مِنَ الْخَزَائِنِ مَنْ يُوْقِظُ صَوَاحِبِ الْحُجُرَاتِ ؟ يَارُبَّ كَاسِيَةٍ فيِ الدُّنْيَا عَارِيَة؍ فيِ اْلآخِرَةِ
“ Subhanallah (Maha Suci Allah), fitnah apakah yang akan diturunkan pada malam hari, dan perbendaharaan (anugerah-anugerah) apakah yang akan diturunkan pada orang yang membangunkan para penghuni kamar, dan berapa banyak orang yang mengenakan pakaian di dunia tapi telanjang di akhirat ”.
Berapa banyak ketentuan-ketentuan Allah subhanahu wata’ala yang akan turun di malam hari, yang berupa masalah atau musibah-musibah yang akan menimpa hamba-hamba Allah, dan juga berapa banyak anugerah-anugerah yang dibuka oleh Allah kemudian dilimpahkan kepada mereka, dan jika seorang hamba terbangun di saat itu kemudian berdoa dan bermunajat kepada Allah subhanahu wata’ala maka musibah atau cobaan yang akan menimpanya diangkat oleh Allah karena dia sedang mengingat Allah dan berdoa kepada-Nya, Allah berfirman dalam hadits qudsi:
أَنَا مَعَ عَبْدِيْ حَيْثُمَا ذَكَرَنِيْ وَتَحَرَّكَتْ بِيْ شَفَتَاهُ
“ Aku bersama hamba-Ku ketika ia menyebut-Ku dan bergetar bibirnya menyebut nama-Ku ”
Dalam 1/3 malam terakhir banyak musibah yang akan turun namun telah dirubah oleh Allah subhaanahu ta’ala menjadi anugerah baginya, atau mungkin ada anugerah yang akan sampai pada seseorang namun ketika 1/3 malam terkahir ia tidak bangun dari tidurnya, maka bisa jadi anugerah itu tidak jadi sampai kepadanya, oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan untuk membangunkan para keluarga di 1/3 malam terakhir untuk berdoa dan bermunajat kepada Allah subhanahu wata’ala. Beliau juga bersabda bahwa bisa jadi seorang yang berkecukupan di dunia akan kesusahan di akhirat. Allah subhanahu wata’ala berfirman :
الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ
( الزخرف : 67 )
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa”. ( QS. Az Zukhruf : 67 )
Semua orang yang saling mencintai akan bermusuhan dan saling menyalahkan antara satu dan yang lainnya, diantara mereka mungkin saling menyalahkan karena ketika di dunia tidak saling menasihati untuk berbuat kebaikan dan tidak pula saling mengingatkan atau melarang untuk berbuat kejelekan, kecuali orang-orang yang bertakwa mereka akan berada dalam ketenangan dan kegembiraan dan selamat dari kemurkaan Allah subhanahu wata’ala, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala :
وَيَنْقَلِبُ إِلَى أَهْلِهِ مَسْرُورًا
( الإنشقاق : 9 )
“Dan dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira”. ( QS. Al Insyiqaaq: 9)
Diriwayatkan di dalam Shahih Al Bukhari, ketika rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkumpul dengan beberapa sahabatnya di suatu malam, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata : “ seratus tahun yang akan datang tidak akan ada lagi yang tersisa di muka bumi ini”, maksud beliau adalah orang-orang yang hidup di saat itu semuanya akan wafat. Hujjatul islam Al Imam Nawawi menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah mereka yang dikatakan saja, karena nabiyallah Khidir masih tetap hidup hingga berjumpa dengan Dajjal. Namun makna hadits tadi adalah betapa singkatnya hidup kita dan merupakan peringatan bagi kita untuk selalu berwaspada, dalam majelis ini saja mungkin seratus tahun yang akan datang tidak akan ada lagi yang tersisa tetapi telah berada di dalam kuburnya masing-masing. Apakah mereka dalam perkumpulan keluhuran atau perkumpulan kehinaan, karena di alam barzakh pun perkumpulan keluhuran dan kehinaan sebagaimana ketika hidup di muka bumi. Di alam barzakh pun ada orang yang menyendiri, ada yang tidur, ada yang bangun, ada yang miskin dan ada juga yang kaya , ada yang berkelompok dalam kesenangan dan ada yang berkelompok dalam kesusahan hanya saja disana tidak ada yang bermaksiat namun tetap ada yang melakukan ibadah, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Muslim dan lainnya ketika rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَرَرْتُ بِمُوْسَى لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِيْ عِنْدَ اْلكَثِيْبِ اْلأَحْمَرِ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِيْ قَبْرِهِ
“ Saya melewati Musa yang sedang shalat di kuburnya di sebuah tumpukan pasir merah pada malam saya dijalankan oleh Allah (isra’ mi’raj)”
Dalam tafsir Al Imam Ibn Katsir dijelaskan bahwa dalam sebuah riwayat yang tsiqah dijelaskan bahwa salah seorang ulama’ berkata : “Aku setiap malam Jum’at di masa hidupku selalu hadir pada suatu majelis dan setelah aku wafat pun ruhku masih terus dihadirkan pada majelis tersebut” . Maka ruh orang yang ketika di dunia selalu berkumpul dalam kebaikan maka ketika ia wafat pun akan terus dihadirkan dalam perkumpulan itu seperti di masa hidupnya, dan selain itu ada yang dalam penjara yaitu dalam siksa kubur, ada yang dalam kesusahan, ada yang dalam keberkahan dan kebahagiaan disebabkan tetangganya, dan ada pula yang dalam kesusahan disebabkan tetangganya . Dalam sebuah riwayat yang tsiqah, yaitu riwayat yang kuat dan bisa dipertanggungjawabkan karena maknanya shahih dan peristiwa atau kejadiannya didukung dengan dalil-dalil yang shahih walaupun riwayatnya belum tentu shahih, disebutkan bahwa ketika seseorang ayah telah meninggal anaknya yang masih kecil, beberapa hari kemudian ia mimpi melihat anaknya yang masih kecil itu terlihat sudah tua renta dan memutih rambutnya, maka sang ayah berkata : “wahai anakku, engkau meninggal ketika masih sangat kecil tapi mengapa wajahmu telah berubah menjadi sangat tua?”, maka si anak menjawab : “wahai ayah, di pemakaman ketika jenazah si fulan dimasukkan ke dalam kubur, kami mendengar gemuruh neraka jahannam maka kami semua ketakutan hingga wajahku berubah seperti ini karena takut dengan gemuruh api neraka”,. Dan dalam riwayat lainnya disebutkan, diantaranya dalam kitab Tadzkiratul Huffadh dan Siyaar a’laamunnubalaa’, dimana salah seorang bermimpi melihat temannya yang telah wafat puluhan tahun yang lalu dengan wajah yang sangat bercahaya dan terang benderang, maka ia berkata : “wahai fulan semasa hidupmu engkau bukanlah termasuk orang yang sangat shalih, namun bagaimana wajahmu bisa bersinar seperti ini?”, maka ia menjawab : “Ya betul, sejak kemarin ketika meninggal Al Imam Ahmad bin Hanbal dan ketika jenazahnya masuk ke pemakaman kami maka sepuluh ribu cahaya turun pada setiap kubur yang ada disekitarnya”, riwayat ini di dukung oleh riwayat Shahihul Bukhari ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menshalati salah seorang yang wafat dikuburnya karena beliau shallallahu ‘alaihi wasallam belum sempat menshalatinya sebelum dikuburkan, jenazah itu adalah seorang wanita yang mempunyai kebiasaan menyapu masjid. Maka suatu saat nabi bertanya : “ dimana si fulanah, aku tidak lagi pernah melihatnya?”, dan setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengetahui bahwa dia telah meninggal maka beliau meminta sahabat untuk diantar ke makamnya dan menshalatinya di makam tersebut, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata bahwa perkuburan tersebut penuh dengan kegelapan, namun Allah menerangi seluruh makam disini karena shalatku kepada mereka, demikianlah sebagian dari keadaan di alam barzakh yang pasti akan mendatangi kita. Maka alangkah indahnya mereka yang selalu asyik duduk santai di Majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena cintanya kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ketika wafat ruhnya dibawa oleh para malaikat dan dikumpulkan bersama para pecinta rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan bersama beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Diriwayatkan ketika sayyidina Bilal tersengal-sengal menahan sakaratul maut, maka istrinya berkata : “betapa beratnya Bilal menahan sakitnya sakaratul maut”, maka Bilal menjawab : “tidak, aku bukan tersengal-sengal karena menahan sakitnya sakaratul maut akan tetapi karena aku ingin segera bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para kelompoknya”, demikian keadaan para sahabat dan para pecinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika wafat . Semoga Allah subhanahu wata’ala memanjangkan usia kita dalam keberkahan dan mewafatkan kita dalam husnul khatimah dan seindah-indah keadaan. Maka perindah hari-hari kita dengan hal-hal yang indah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا
“ Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik”
Allah subhanahu wata’ala menyukai sesuatu yang baik dan yang indah, dan tidak ada yang lebih baik dan indah dari yang telah diajarkan oleh sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala :
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
( آل عمران : 31 )
“ Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” . ( QS. Ali Imran : 31 )
Maka dengan banyak membaca Al qur’anul Karim, membaca hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau menelaahnya sungguh hal yang seperti itu indah di sisi Allah subhanahu wata’ala sehingga kita pun akan diperindah oleh Allah subhanahu wata’ala .
Diriwayatkan di dalam Shahih Al Bukhari ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam didatangi oleh salah seorang sahabat dan berkata : “Wahai Rasulullah, di saat aku membaca surat Al Kahfi ketika itu turun kabut dari langit, apakah itu wahai rasulullah??”, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “ itu adalah para malaikat yang turun dari langit berupa ketenangan karena bacaan Al qu’ran yang dibaca di muka bumi”, ketika seseorang membaca Al qur’an maka ketenangan akan turun kepadanya, dan rahmat akan terbuka sehingga banyak musibah yang tersingkirkan dan banyak anugerah yang diturunkan, oleh sebab itu perbanyaklah membaca Al qur’an. Dan isnyaallah setiap malam Kamis kita akan membaca Al qur’an bersama beberapa surat juz ‘Amma dengan waktu kurang lebih 5 menit, kita mulai malam Kamis yang akan datang insyaallah yang dengan hal ini kita berharap dan berusaha untuk kembali memakmurkan Al qur’anul Karim.
Hadirin hadirat yang dimulikan Allah
Disebutkan dalam suatu riwayat yang tsiqah bahkan didukung dengan dalil dari Al Qur’an dan hadits rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan teguran dan himbauan agar kita jauh dari sifat sombong , di dalam kitab Qabasun Nuurul Mubiin dari kitab Ihyaa ‘Ulumuddin yang ditulis oleh guru mulia Al Arif Billah Habib Umar bin Muhammad bin Salim Al Hafidh, menjelaskan agar berhati-hati terhadap sifat sombong yang terkadang tidak diketahui dan tidak disadari, yang diantaranya adalah merasa senang jika melihat orang lain celaka, atau jika ia mempunyai musuh atau orang yang tidak ia sukai karena pernah mengganggu dan mencelakakan dia ketika ia terkena musibah maka ia merasa senang, mungkin dengan berkata : “itu karena dia menggangguku, sehingga Allah menurunkan musibah kepadanya”, atau dengan ucapan yang lainnya, maka hal yang seperti ini merupakan salah satu dari bentuk sifat kibr (sombong) yang terkadang tidak disadari oleh manusia. Para nabi dan Rasul banyak yang dicaci dan dihina namun Allah maafkan mereka yang mencaci di kemudian hari . Diriwayatkan pula ketika seorang wanita yang tua renta sedang menyapu di tengah jalan dan di saat itu ada seorang panglima besar yang akan melewati jalan itu maka wanita itu disuruh pergi dari tempat itu, semua orang menghindar dari jalan namun si wanita itu tidak mau pergi dan tetap menyapu di jalan itu, maka dikatakan kepada wanita tua itu : “wahai ibu, pergilah dari jalan ini karena panglima akan melewati jalan ini”, maka wanita itu berkata: “ lewat saja, masih ada jalan yang bisa dilewatinya”, maka panglima itu berkata : “wahai ibu, apakah engkau mengenalku?”, maka wanita itu menjawab: “aku mengenalmu sejak engkau belum dilahirkan”, panglima berkata : “bagaimana hal itu bisa terjadi?”, wanita itu menjawab : “betul aku mengenalmu, permulaanmu adalah air mani dan akhirmu adalah bangkai”, maka panglima itu terdiam malu. Itulah hakikat manusia, entah itu seorang raja, panglima, atau rakyat biasa kesemuanya berawal dari air mani dan akan berakhir menjadi bangkai, kecuali para shiddiqin dan muqarrabin yang tubuhnya akan tetap dijaga oleh Allah dengan mengharamkan bumi dan seluruh binatang-binantang bumi memakannya, dan memerintahkan bumi untuk menjaga jasadnya. Oleh sebab itu ketika terjadi banjir besar di wilayah Uhud, Saudi Arabia, sehingga pemakaman Uhud menjadi longsor dan bergelimpangan jasad-jasad yang masih utuh dan seakan-akan mereka dalam keadaan tidur bukan wafat, dan sebagian darah mereka masih terlihat basah, mereka adalah para syuhada’ uhud yang telah wafat 1400 tahun yang silam, kemudian mereka dimakamkan kembali. Oleh sebab itu Allah subhanahu wata’ala memuliakan hamba-hamba yang dikehendaki-Nya, Allah subhanahu wata’ala membukakan pintu rahmat bagi yang dikehendaki-Nya, maka lewati kehidupan kita dengan seindah-indah kehidupan .
Selanjutnya kita berdoa keapda Allah subhanahu wata’ala semoga Allah melimpahkan rahmat dan kebahagiaan, dan menenangkan jiwa dan hari-hari kita dalam segala keadaan, zhahir dan batin, dunia dan akhirat, dijauhkan dari musibah dan bala’, dan membukakan untuk kita seluruh pintu kebaikan, amin allahumma amin..
فَقُوْلُوْا جَمِيْعًا
Ucapkanlah bersama-sama
يَا الله...يَا الله... ياَ الله.. ياَرَحْمَن يَارَحِيْم ...لاَإلهَ إلَّاالله...لاَ إلهَ إلاَّ اللهُ اْلعَظِيْمُ الْحَلِيْمُ...لاَ إِلهَ إِلَّا الله رَبُّ اْلعَرْشِ اْلعَظِيْمِ...لاَ إِلهَ إلَّا اللهُ رَبُّ السَّموَاتِ وَرَبُّ الْأَرْضِ وَرَبُّ اْلعَرْشِ اْلكَرِيْمِ...مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ،كَلِمَةٌ حَقٌّ عَلَيْهَا نَحْيَا وَعَلَيْهَا نَمُوتُ وَعَلَيْهَا نُبْعَثُ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى مِنَ اْلأمِنِيْنَ.
source : http://majelisrasulullah.org/
Tuesday, 11 October 2011
عَنْ أَمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَيْقَظَ لَيْلَةً فَقَالَ سُبْحَانَ اللهِ مَاذَا أُنْزِلَ اللَّيْلَةَ مِنَ اْلفِتْنَةِ مَاذَا أُنْزِلَ مِنَ الْخَزَائِنِ مَنْ يُوْقِظُ صَوَاحِبِ الْحُجُرَاتِ ؟ يَارُبَّ كَاسِيَةٍ فيِ الدُّنْيَا عَارِيَةٍ فيِ اْلآخِرَةِ
(صحيح البخاري)
“ Dari Ummu Salamah RA, dia berkata: Pada suatu malam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terbangun lalu berkata : “Subhanallah, fitnah apakah yang diturunkan di malam hari, dan perbendaharaan apakah yang diturunkan pada orang yang membangunkan para penghuni kamar, dan berapa banyak orang yang mengenakan pakaian di dunia, tapi telanjang di akhirat". ( Shahih Al Bukhari)
Limpahan puji kehadirat Allah subhanahu wata’ala Yang Maha Luhur, dengan kehadiran kita di majelis yang mulia ini, dan semoga dengan majelis yang mulia ini dan majelis-majelis dzikir dan majelis ta’lim yang kita hadiri kita juga termuliakan untuk menuju keluhuran.
Maha Suci Allah subhanahu wata’ala Yang Maha membuka rahasia rahmat-Nya sehingga Allah subhanahu wata’ala Yang Maha Dermawan menyiapkan bumi beserta isinya untuk keturunan nabi Adam As untuk mereka olah, dan sampailah kita pada malam yang agung ini dalam anugerah-anugerah yang bersifat rohani yang membawa ketenangan jiwa, serta membuka kunci kemakmuran di dunia dan akhirat, dan semakin jauh seorang hamba dari Allah subhanahu wata’ala maka akan semakin banyak musibah yang akan datang menimpanya, dan sebaliknya semakin seseorang dekat kepada Allah subhanahu wata’ala maka semakin banyak musibah yang akan disingkirkan oleh Allah, maka beruntunglah hamba yang ingin mendekat kepada Allah subhanahu wata’ala, karena Allah akan lebih mendekat kepadanya, sebagaimana firman-Nya dalam hadits qudsi :
وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلّيَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِيْ يَمْشِيْ أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً
“ Jika dia (hamba-Ku) mendekat kepada-Ku satu jengkal maka Aku mendekat kepadanya satu hasta, jika ia mendekat kepada-Ku satu hasta maka Aku mendekat kepadanya satu depa, dan jika ia mendatangi-Ku dengan berjalan maka Aku mendatanginya dengan bergegas”.
Jika telah muncul dalam diri seseorang keinginan untuk mendekat kepada Allah maka ketahuilah di saat itu Allah juga ingin mendekat dengannya. Diumpamakan ada suatu pesta besar yang diadakan oleh seorang pemimpin atau orang yang sangat kaya raya dan dermawan sehingga segala macam hidangan disiapkan, begitupula keadaan kita di majelis ini dimana Allah subhanahu wata’ala sedang menjamu kita dengan hidangan-hidangan yang kita ketahui dan yang tidak kita ketahui . Allah subhanahu wata’ala melimpahkan rahmat-Nya di setiap waktu, akan tetapi ada waktu-waktu tertentu yang mana layak dan seharusnya kita memohon dan berdoa di waktu-waktu tersebut agar kita dijauhkan dari musibah dan mendapatkan banyak anugerah, dan diantaranya adalah di majelis-majelis seperti ini maka perbanyaklah berdoa dan meminta kepada Allah subhanahu wata’ala. Dan juga sebagaimana hadits yang kita baca tadi, dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di suatu malam terbangun untuk melakukan qiyamul lail, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
سُبْحَانَ اللهِ مَاذَا أُنْزِلَ اللَّيْلَةَ مِنَ اْلفِتْنَةِ مَاذَا أُنْزِلَ مِنَ الْخَزَائِنِ مَنْ يُوْقِظُ صَوَاحِبِ الْحُجُرَاتِ ؟ يَارُبَّ كَاسِيَةٍ فيِ الدُّنْيَا عَارِيَة؍ فيِ اْلآخِرَةِ
“ Subhanallah (Maha Suci Allah), fitnah apakah yang akan diturunkan pada malam hari, dan perbendaharaan (anugerah-anugerah) apakah yang akan diturunkan pada orang yang membangunkan para penghuni kamar, dan berapa banyak orang yang mengenakan pakaian di dunia tapi telanjang di akhirat ”.
Berapa banyak ketentuan-ketentuan Allah subhanahu wata’ala yang akan turun di malam hari, yang berupa masalah atau musibah-musibah yang akan menimpa hamba-hamba Allah, dan juga berapa banyak anugerah-anugerah yang dibuka oleh Allah kemudian dilimpahkan kepada mereka, dan jika seorang hamba terbangun di saat itu kemudian berdoa dan bermunajat kepada Allah subhanahu wata’ala maka musibah atau cobaan yang akan menimpanya diangkat oleh Allah karena dia sedang mengingat Allah dan berdoa kepada-Nya, Allah berfirman dalam hadits qudsi:
أَنَا مَعَ عَبْدِيْ حَيْثُمَا ذَكَرَنِيْ وَتَحَرَّكَتْ بِيْ شَفَتَاهُ
“ Aku bersama hamba-Ku ketika ia menyebut-Ku dan bergetar bibirnya menyebut nama-Ku ”
Dalam 1/3 malam terakhir banyak musibah yang akan turun namun telah dirubah oleh Allah subhaanahu ta’ala menjadi anugerah baginya, atau mungkin ada anugerah yang akan sampai pada seseorang namun ketika 1/3 malam terkahir ia tidak bangun dari tidurnya, maka bisa jadi anugerah itu tidak jadi sampai kepadanya, oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan untuk membangunkan para keluarga di 1/3 malam terakhir untuk berdoa dan bermunajat kepada Allah subhanahu wata’ala. Beliau juga bersabda bahwa bisa jadi seorang yang berkecukupan di dunia akan kesusahan di akhirat. Allah subhanahu wata’ala berfirman :
الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ
( الزخرف : 67 )
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa”. ( QS. Az Zukhruf : 67 )
Semua orang yang saling mencintai akan bermusuhan dan saling menyalahkan antara satu dan yang lainnya, diantara mereka mungkin saling menyalahkan karena ketika di dunia tidak saling menasihati untuk berbuat kebaikan dan tidak pula saling mengingatkan atau melarang untuk berbuat kejelekan, kecuali orang-orang yang bertakwa mereka akan berada dalam ketenangan dan kegembiraan dan selamat dari kemurkaan Allah subhanahu wata’ala, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala :
وَيَنْقَلِبُ إِلَى أَهْلِهِ مَسْرُورًا
( الإنشقاق : 9 )
“Dan dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira”. ( QS. Al Insyiqaaq: 9)
Diriwayatkan di dalam Shahih Al Bukhari, ketika rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkumpul dengan beberapa sahabatnya di suatu malam, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata : “ seratus tahun yang akan datang tidak akan ada lagi yang tersisa di muka bumi ini”, maksud beliau adalah orang-orang yang hidup di saat itu semuanya akan wafat. Hujjatul islam Al Imam Nawawi menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah mereka yang dikatakan saja, karena nabiyallah Khidir masih tetap hidup hingga berjumpa dengan Dajjal. Namun makna hadits tadi adalah betapa singkatnya hidup kita dan merupakan peringatan bagi kita untuk selalu berwaspada, dalam majelis ini saja mungkin seratus tahun yang akan datang tidak akan ada lagi yang tersisa tetapi telah berada di dalam kuburnya masing-masing. Apakah mereka dalam perkumpulan keluhuran atau perkumpulan kehinaan, karena di alam barzakh pun perkumpulan keluhuran dan kehinaan sebagaimana ketika hidup di muka bumi. Di alam barzakh pun ada orang yang menyendiri, ada yang tidur, ada yang bangun, ada yang miskin dan ada juga yang kaya , ada yang berkelompok dalam kesenangan dan ada yang berkelompok dalam kesusahan hanya saja disana tidak ada yang bermaksiat namun tetap ada yang melakukan ibadah, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Muslim dan lainnya ketika rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَرَرْتُ بِمُوْسَى لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِيْ عِنْدَ اْلكَثِيْبِ اْلأَحْمَرِ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِيْ قَبْرِهِ
“ Saya melewati Musa yang sedang shalat di kuburnya di sebuah tumpukan pasir merah pada malam saya dijalankan oleh Allah (isra’ mi’raj)”
Dalam tafsir Al Imam Ibn Katsir dijelaskan bahwa dalam sebuah riwayat yang tsiqah dijelaskan bahwa salah seorang ulama’ berkata : “Aku setiap malam Jum’at di masa hidupku selalu hadir pada suatu majelis dan setelah aku wafat pun ruhku masih terus dihadirkan pada majelis tersebut” . Maka ruh orang yang ketika di dunia selalu berkumpul dalam kebaikan maka ketika ia wafat pun akan terus dihadirkan dalam perkumpulan itu seperti di masa hidupnya, dan selain itu ada yang dalam penjara yaitu dalam siksa kubur, ada yang dalam kesusahan, ada yang dalam keberkahan dan kebahagiaan disebabkan tetangganya, dan ada pula yang dalam kesusahan disebabkan tetangganya . Dalam sebuah riwayat yang tsiqah, yaitu riwayat yang kuat dan bisa dipertanggungjawabkan karena maknanya shahih dan peristiwa atau kejadiannya didukung dengan dalil-dalil yang shahih walaupun riwayatnya belum tentu shahih, disebutkan bahwa ketika seseorang ayah telah meninggal anaknya yang masih kecil, beberapa hari kemudian ia mimpi melihat anaknya yang masih kecil itu terlihat sudah tua renta dan memutih rambutnya, maka sang ayah berkata : “wahai anakku, engkau meninggal ketika masih sangat kecil tapi mengapa wajahmu telah berubah menjadi sangat tua?”, maka si anak menjawab : “wahai ayah, di pemakaman ketika jenazah si fulan dimasukkan ke dalam kubur, kami mendengar gemuruh neraka jahannam maka kami semua ketakutan hingga wajahku berubah seperti ini karena takut dengan gemuruh api neraka”,. Dan dalam riwayat lainnya disebutkan, diantaranya dalam kitab Tadzkiratul Huffadh dan Siyaar a’laamunnubalaa’, dimana salah seorang bermimpi melihat temannya yang telah wafat puluhan tahun yang lalu dengan wajah yang sangat bercahaya dan terang benderang, maka ia berkata : “wahai fulan semasa hidupmu engkau bukanlah termasuk orang yang sangat shalih, namun bagaimana wajahmu bisa bersinar seperti ini?”, maka ia menjawab : “Ya betul, sejak kemarin ketika meninggal Al Imam Ahmad bin Hanbal dan ketika jenazahnya masuk ke pemakaman kami maka sepuluh ribu cahaya turun pada setiap kubur yang ada disekitarnya”, riwayat ini di dukung oleh riwayat Shahihul Bukhari ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menshalati salah seorang yang wafat dikuburnya karena beliau shallallahu ‘alaihi wasallam belum sempat menshalatinya sebelum dikuburkan, jenazah itu adalah seorang wanita yang mempunyai kebiasaan menyapu masjid. Maka suatu saat nabi bertanya : “ dimana si fulanah, aku tidak lagi pernah melihatnya?”, dan setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengetahui bahwa dia telah meninggal maka beliau meminta sahabat untuk diantar ke makamnya dan menshalatinya di makam tersebut, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata bahwa perkuburan tersebut penuh dengan kegelapan, namun Allah menerangi seluruh makam disini karena shalatku kepada mereka, demikianlah sebagian dari keadaan di alam barzakh yang pasti akan mendatangi kita. Maka alangkah indahnya mereka yang selalu asyik duduk santai di Majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena cintanya kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ketika wafat ruhnya dibawa oleh para malaikat dan dikumpulkan bersama para pecinta rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan bersama beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Diriwayatkan ketika sayyidina Bilal tersengal-sengal menahan sakaratul maut, maka istrinya berkata : “betapa beratnya Bilal menahan sakitnya sakaratul maut”, maka Bilal menjawab : “tidak, aku bukan tersengal-sengal karena menahan sakitnya sakaratul maut akan tetapi karena aku ingin segera bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para kelompoknya”, demikian keadaan para sahabat dan para pecinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika wafat . Semoga Allah subhanahu wata’ala memanjangkan usia kita dalam keberkahan dan mewafatkan kita dalam husnul khatimah dan seindah-indah keadaan. Maka perindah hari-hari kita dengan hal-hal yang indah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا
“ Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik”
Allah subhanahu wata’ala menyukai sesuatu yang baik dan yang indah, dan tidak ada yang lebih baik dan indah dari yang telah diajarkan oleh sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala :
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
( آل عمران : 31 )
“ Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” . ( QS. Ali Imran : 31 )
Maka dengan banyak membaca Al qur’anul Karim, membaca hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau menelaahnya sungguh hal yang seperti itu indah di sisi Allah subhanahu wata’ala sehingga kita pun akan diperindah oleh Allah subhanahu wata’ala .
Diriwayatkan di dalam Shahih Al Bukhari ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam didatangi oleh salah seorang sahabat dan berkata : “Wahai Rasulullah, di saat aku membaca surat Al Kahfi ketika itu turun kabut dari langit, apakah itu wahai rasulullah??”, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “ itu adalah para malaikat yang turun dari langit berupa ketenangan karena bacaan Al qu’ran yang dibaca di muka bumi”, ketika seseorang membaca Al qur’an maka ketenangan akan turun kepadanya, dan rahmat akan terbuka sehingga banyak musibah yang tersingkirkan dan banyak anugerah yang diturunkan, oleh sebab itu perbanyaklah membaca Al qur’an. Dan isnyaallah setiap malam Kamis kita akan membaca Al qur’an bersama beberapa surat juz ‘Amma dengan waktu kurang lebih 5 menit, kita mulai malam Kamis yang akan datang insyaallah yang dengan hal ini kita berharap dan berusaha untuk kembali memakmurkan Al qur’anul Karim.
Hadirin hadirat yang dimulikan Allah
Disebutkan dalam suatu riwayat yang tsiqah bahkan didukung dengan dalil dari Al Qur’an dan hadits rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan teguran dan himbauan agar kita jauh dari sifat sombong , di dalam kitab Qabasun Nuurul Mubiin dari kitab Ihyaa ‘Ulumuddin yang ditulis oleh guru mulia Al Arif Billah Habib Umar bin Muhammad bin Salim Al Hafidh, menjelaskan agar berhati-hati terhadap sifat sombong yang terkadang tidak diketahui dan tidak disadari, yang diantaranya adalah merasa senang jika melihat orang lain celaka, atau jika ia mempunyai musuh atau orang yang tidak ia sukai karena pernah mengganggu dan mencelakakan dia ketika ia terkena musibah maka ia merasa senang, mungkin dengan berkata : “itu karena dia menggangguku, sehingga Allah menurunkan musibah kepadanya”, atau dengan ucapan yang lainnya, maka hal yang seperti ini merupakan salah satu dari bentuk sifat kibr (sombong) yang terkadang tidak disadari oleh manusia. Para nabi dan Rasul banyak yang dicaci dan dihina namun Allah maafkan mereka yang mencaci di kemudian hari . Diriwayatkan pula ketika seorang wanita yang tua renta sedang menyapu di tengah jalan dan di saat itu ada seorang panglima besar yang akan melewati jalan itu maka wanita itu disuruh pergi dari tempat itu, semua orang menghindar dari jalan namun si wanita itu tidak mau pergi dan tetap menyapu di jalan itu, maka dikatakan kepada wanita tua itu : “wahai ibu, pergilah dari jalan ini karena panglima akan melewati jalan ini”, maka wanita itu berkata: “ lewat saja, masih ada jalan yang bisa dilewatinya”, maka panglima itu berkata : “wahai ibu, apakah engkau mengenalku?”, maka wanita itu menjawab: “aku mengenalmu sejak engkau belum dilahirkan”, panglima berkata : “bagaimana hal itu bisa terjadi?”, wanita itu menjawab : “betul aku mengenalmu, permulaanmu adalah air mani dan akhirmu adalah bangkai”, maka panglima itu terdiam malu. Itulah hakikat manusia, entah itu seorang raja, panglima, atau rakyat biasa kesemuanya berawal dari air mani dan akan berakhir menjadi bangkai, kecuali para shiddiqin dan muqarrabin yang tubuhnya akan tetap dijaga oleh Allah dengan mengharamkan bumi dan seluruh binatang-binantang bumi memakannya, dan memerintahkan bumi untuk menjaga jasadnya. Oleh sebab itu ketika terjadi banjir besar di wilayah Uhud, Saudi Arabia, sehingga pemakaman Uhud menjadi longsor dan bergelimpangan jasad-jasad yang masih utuh dan seakan-akan mereka dalam keadaan tidur bukan wafat, dan sebagian darah mereka masih terlihat basah, mereka adalah para syuhada’ uhud yang telah wafat 1400 tahun yang silam, kemudian mereka dimakamkan kembali. Oleh sebab itu Allah subhanahu wata’ala memuliakan hamba-hamba yang dikehendaki-Nya, Allah subhanahu wata’ala membukakan pintu rahmat bagi yang dikehendaki-Nya, maka lewati kehidupan kita dengan seindah-indah kehidupan .
Selanjutnya kita berdoa keapda Allah subhanahu wata’ala semoga Allah melimpahkan rahmat dan kebahagiaan, dan menenangkan jiwa dan hari-hari kita dalam segala keadaan, zhahir dan batin, dunia dan akhirat, dijauhkan dari musibah dan bala’, dan membukakan untuk kita seluruh pintu kebaikan, amin allahumma amin..
فَقُوْلُوْا جَمِيْعًا
Ucapkanlah bersama-sama
يَا الله...يَا الله... ياَ الله.. ياَرَحْمَن يَارَحِيْم ...لاَإلهَ إلَّاالله...لاَ إلهَ إلاَّ اللهُ اْلعَظِيْمُ الْحَلِيْمُ...لاَ إِلهَ إِلَّا الله رَبُّ اْلعَرْشِ اْلعَظِيْمِ...لاَ إِلهَ إلَّا اللهُ رَبُّ السَّموَاتِ وَرَبُّ الْأَرْضِ وَرَبُّ اْلعَرْشِ اْلكَرِيْمِ...مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ،كَلِمَةٌ حَقٌّ عَلَيْهَا نَحْيَا وَعَلَيْهَا نَمُوتُ وَعَلَيْهَا نُبْعَثُ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى مِنَ اْلأمِنِيْنَ.
source : http://majelisrasulullah.org/
Azka Taslim By RJ
Azka Taslimi 2x Tuhda Ilaika Ya Toha
Washolatul Bari Al bari Tasroh ilaika
Jikta bil Khoiri Ya Nabi
Wa Dinil Yusli Ya Nabi
Ma Yah tubu Qad Faza Wa afna
Azka Taslimi 2x Tuhda Ilaika Ya Toha
Washolatul Bari Al bari Tasroh alaika
Jikta bil Khoiri Ya Nabi 2x
Wa Dinil Yusli Ya Nabi 2X
Ma Yah tubu Qad Faza Wa afna
Allah Ro’a ala samani
bunya ani Syifa' kulul Anami 2X
Walwahyuna Nazal Alaika Fil Khoiri Wa Auha Ilaika2x
tahdi minal humul IBadi
subina'ril ya habaib na
hubun nabi dhowabna 2X
Jikta bil Khoiri Ya Nabi 2x
Wa Dinil Yusli Ya Nabi 2X
Washolatul Bari Al bari Tasroh ilaika
Jikta bil Khoiri Ya Nabi
Wa Dinil Yusli Ya Nabi
Ma Yah tubu Qad Faza Wa afna
Azka Taslimi 2x Tuhda Ilaika Ya Toha
Washolatul Bari Al bari Tasroh alaika
Jikta bil Khoiri Ya Nabi 2x
Wa Dinil Yusli Ya Nabi 2X
Ma Yah tubu Qad Faza Wa afna
Allah Ro’a ala samani
bunya ani Syifa' kulul Anami 2X
Walwahyuna Nazal Alaika Fil Khoiri Wa Auha Ilaika2x
Azka Taslimi 2x Tuhda Ilaika Ya Toha
Washolatul Bari Al bari
Tasroh alaikaYa Toha
Jikta bil Khoiri Ya Nabi 2x
Wa Dinil Yusli Ya Nabi 2X
Ma Yah tubu Qad Faza
Wa afna
Allah Ro’a ala samani
Jikta bil Khoiri Ya Nabi
Wa Dinil Yusli Ya Nabi
Wa Dinil Yusli Ya Nabi
Ma Yah tubu Qad Faza
Wa afna
Azka Taslimi 2x Tuhda Ilaika Ya Toha
Washolatul Bari Al bari
Tasroh ilaika
Jikta bil Khoiri Ya Nabi
Wa Dinil Yusli Ya Nabi 2x
Wa Dinil Yusli Ya Nabi 2x
Ma Yah tubu Qad Faza
Wa afna
Jikta minkul yahoiro haditahdi minal humul IBadi
subina'ril ya habaib na
hubun nabi dhowabna 2X
Jikta bil Khoiri Ya Nabi 2x
Wa Dinil Yusli Ya Nabi 2X
Azka Taslimi 2x Tuhda Ilaika Ya Toha
Washolatul Bari Al bari
Tasroh alaikaYa Toha
Jikta bil Khoiri Ya Nabi 2x
Wa Dinil Yusli Ya Nabi 2X
Ma Yah tubu Qad Faza
Wa afna
Kamis, 15 Desember 2011
Membuat Anyaman bahan dari kertas
meta name="ProgId" content="Word.Document">
Cara
Pembuatannyapun cukup sederhana semua orang pasti dapat melakukannya
hanya perlu modal ketekunan dan kesabaran. Anda mau mencobanya silahkan
ikuti petunjuk tenis berikut ini :
Alat-alat yang dibutuhkan :
· Kertas Berwarna
· Kertas karton
· Gunting dan Cutter
· Pinsil dan Penggaris
Cara Pembuatan :
1. Siapkan karton ukuran 22X22cm kemudian beri garis bingkai dengan ukuran 20 X 20
2. Beri garis sejajar dengan jarak 0,5 cm pada garis vertical
3. Torehlah dengan mengunakan cutter secara hati-hati gunakan alat bantu penggaris besi pada permukaan yang rata
4. Siapkan kertas berwarna 20X20cm kemudian beri garis sejajar dengan jarak 0,5cm kemudian gunting secara merata
5. Buatlah pola hias pada kertas kotak-kotak misalnya seperti dibawah ini:
Sabtu, 22 Oktober 2011
Munzir bin Fuad Al-Musawa
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Munzir AlMusawa)
Al-Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa | |
---|---|
Habib Munzir | |
Lahir | 23 Maret 1973 (umur 38) Cipanas |
Kebangsaan | Indonesia |
Nama panggilan | Habib Munzir |
Pekerjaan | Da'i |
Agama | Islam |
Pasangan | Syarifah Khadijah Al-Juneid |
Situs web | |
Website Resmi |
Setelah beliau menyelesaikan sekolah menengah atas, beliau mulai mendalami Ilmu Syariah Islam di Ma’had Assaqafah Al Habib Abdurrahman Assegaf di Bukit Duri Jakarta Selatan, lalu mengambil kursus bahasa arab di LPBA Assalafy Jakarta timur. Ia memperdalam lagi Ilmu Syari’ah Islamiyah di Ma’had Al Khairat, Bekasi Timur, yang kemudian diteruskan ke Ma’had Darul Musthafa di pesantren Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz bin Syech abubakar bin Salim di Tarim Hadhramaut Yaman pada tahun 1994 untuk mendalami bidang syari'ah selama empat tahun. Di sana beliau mendalami ilmu fiqh, ilmu tafsir Al Qur'an, ilmu hadits, ilmu sejarah, ilmu tauhid, ilmu tasawwuf, mahabbaturrasul, ilmu dakwah, dan ilmu ilmu syariah lainnya.
Habib Munzir Al-Musawa kembali ke Indonesia pada tahun 1998, dan mulai berdakwah dengan mengunjungi rumah-rumah, duduk dan bercengkerama dg mereka, memberi mereka jalan keluar dalam segala permasalahan, lalu atas permintaan mereka maka mulailah Habib Munzir membuka majlis, jumlah hadirin sekitar enam orang, beliau terus berdakwah dengan meyebarkan kelembutan Allah swt, yang membuat hati pendengar sejuk, beliau tidak mencampuri urusan politik, dan selalu mengajarkan tujuan utama kita diciptakan adalah untuk beribadah kepada Allah swt, bukan berarti harus duduk berdzikir sehari penuh tanpa bekerja dll, tapi justru mewarnai semua gerak gerik kita dengan kehidupan yang Nabawiy, kalau dia ahli politik, maka ia ahli politik yang Nabawiy, kalau konglomerat, maka dia konglomerat yang Nabawiy, pejabat yang Nabawiy, pedagang yang Nabawiy, petani yang Nabawiy, betapa indahnya keadaan ummat apabila seluruh lapisan masyarakat adalah terwarnai dengan kenabawian, sehingga antara golongan miskin, golongan kaya, partai politik, pejabat pemerintahan terjalin persatuan dalam kenabawiyan, inilah Dakwah Nabi Muhammad saw yang hakiki, masing masing dg kesibukannya tapi hati mereka bergabung dg satu kemuliaan, inilah tujuan Nabi saw diutus, untuk membawa rahmat bagi sekalian alam. Majelisnya mengalami pasang surut, awal berdakwah ia memakai kendaraan umum turun naik bus, menggunakan jubah dan surban, serta membawa kitab-kitab. Tak jarang beliau mendapat cemoohan dari orang-orang sekitar. Beliau bahkan pernah tidur di emperan toko ketika mencari murid dan berdakwah. Kini majlis taklim yang diasuhnya setiap malam selasa di Masjid Al-Munawar Pancoran Jakarta Selatan, yang dulu hanya dihadiri tiga sampai enam orang, sudah berjumlah sekitar 30.000 hadirin setiap malam selasa, Habib Munzir sudah membuka puluhan majlis taklim di seputar Jakarta dan sekitarnya, beliau juga membuka majelis di rumahnya setiap malam jum’at bertempat di jalan kemiri cidodol kebayoran.
Nama Rasulullah SAW sengaja digunakan untuk nama Majelisnya yaitu “Majelis Rasulullah SAW”, agar apa-apa yang dicita-citakan oleh majelis taklim ini tercapai. Sebab beliau berharap, semua jamaahnya bisa meniru dan mencontoh Rasulullah SAW dan menjadikannya sebagai panutan hidup. Habib Munzir juga rutin melakukan takbir akbar di Istiqlal atau Senayan yang sering dihadiri para pimpinan tertinggi negara Indonesia.
Munzir memiliki dua putera dari isterinya.
MINIBIOGRAFI GUS DUR
Abdurrahman "Addakhil", demikian nama lengkapnya. Secara leksikal, "Addakhil" berarti "Sang Penakluk", sebuah nama yang diambil Wahid Hasyim, orang tuanya, dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Belakangan kata "Addakhil" tidak cukup dikenal dan diganti nama "Wahid", Abdurrahman Wahid, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati "abang" atau "mas".
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara genetik Gus Dur adalah keturunan "darah biru". Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim Asy'ari, pendiri jam'iyah Nahdlatul Ulama (NU)-organisasi massa Islam terbesar di Indonesia-dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi Rais 'Aam PBNU setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Gus Dur merupakan cucu dari dua ulama NU sekaligus, dan dua tokoh bangsa Indonesia.
Pada tahun 1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu, yang terdiri dari para tokoh-dengan berbagai bidang profesi-yang sebelumnya telah dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi seorang anak bernama Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung, Gus Dur juga mulai berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering mangkal di rumahnya.
Sejak masa kanak-kanak, ibunya telah ditandai berbagai isyarat bahwa Gus Dur akan mengalami garis hidup yang berbeda dan memiliki kesadaran penuh akan tanggung jawab terhadap NU. Pada bulan April 1953, Gus Dur pergi bersama ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan madrasah baru. Di suatu tempat di sepanjang pegunungan antara Cimahi dan Bandung, mobilnya mengalami kecelakaan. Gus Dur bisa diselamatkan, akan tetapi ayahnya meninggal. Kematian ayahnya membawa pengaruh tersendiri dalam kehidupannya.
Dalam kesehariannya, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu ia juga aktif berkunjung keperpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku yang agak serius. Karya-karya yang dibaca oleh Gus Dur tidak hanya cerita-cerita, utamanya cerita silat dan fiksi, akan tetapi wacana tentang filsafat dan dokumen-dokumen manca negara tidak luput dari perhatianya. Di samping membaca, tokoh satu ini senang pula bermain bola, catur dan musik. Dengan demikian, tidak heran jika Gus Dur pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gu Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.
Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya di Mesir. Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah anak Haji Muh. Sakur. Perkawinannya dilaksanakan ketika ia berada di Mesir.
Biografi Gus Dur
Rabu, 30 Desember 2009 22:22 WIB | 29430 Views
Berita Terkait
Guru bangsa, reformis, cendekiawan, pemikir, dan pemimpin politik ini menggantikan BJ Habibie sebagai Presiden RI setelah dipilih MPR hasil Pemilu 1999. Dia menjabat Presiden RI dari 20 Oktober 1999 hingga Sidang Istimewa MPR 2001.
Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil atau "Sang Penakluk", dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada anak kiai.
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara, dari keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya, KH. Hasyim Asyari, adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, KH Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren.
Ayah Gus Dur, KH Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama pada 1949. Ibunya, Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.
Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda.
Akhir 1949, dia pindah ke Jakarta setelah ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Dia belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari.
Gus Dur juga diajarkan membaca buku non Islam, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya. Pada April 1953, ayahnya meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.
Pendidikannya berlanjut pada 1954 di Sekolah Menengah Pertama dan tidak naik kelas, tetapi bukan karena persoalan intelektual. Ibunya lalu mengirimnya ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikan.
Pada 1957, setelah lulus SMP, dia pindah ke Magelang untuk belajar di Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun (seharusnya empat tahun).
Pada 1959, Gus Dur pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang dan mendapatkan pekerjaan pertamanya sebagai guru dan kepala madrasah. Gus Dur juga menjadi wartawan Horizon dan Majalah Budaya Jaya.
Pada 1963, Wahid menerima beasiswa dari Departemen Agama untuk belajar di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, namun tidak menyelesaikannya karena kekritisan pikirannya.
Gus Dur lalu belajar di Universitas Baghdad. Meskipun awalnya lalai, Gus Dur bisa menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970.
Dia pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya, guna belajar di Universitas Leiden, tetapi kecewa karena pendidikannya di Baghdad kurang diakui di sini. Gus Dur lalu pergi ke Jerman dan Prancis sebelum kembali ke Indonesia pada 1971.
Gus Dur kembali ke Jakarta dan bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), organisasi yg terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat.
LP3ES mendirikan majalah Prisma di mana Gus Dur menjadi salah satu kontributor utamanya dan sering berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa.
Saat inilah dia memprihatinkan kondisi pesantren karena nilai-nilai tradisional pesantren semakin luntur akibat perubahan dan kemiskinan pesantren yang ia lihat.
Dia kemudian batal belajar luar negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren.
Abdurrahman Wahid meneruskan karirnya sebagai jurnalis, menulis untuk Tempo dan Kompas. Artikelnya diterima baik dan mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial.
Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, sehingga dia harus pulang-pergi Jakarta dan Jombang.
Pada 1974, Gus Dur mendapat pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren Tambakberas. Satu tahun kemudian, Gus Dur menambah pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab Al Hikam.
Pada 1977, dia bergabung di Universitas Hasyim Asyari sebagai dekan Fakultas Praktik dan Kepercayaan Islam, dengan mengajar subyek tambahan seperti pedagogi, syariat Islam dan misiologi.
Ia lalu diminta berperan aktif menjalankan NU dan ditolaknya. Namun, Gus Dur akhirnya menerima setelah kakeknya, Bisri Syansuri, membujuknya. Karena mengambil pekerjaan ini, Gus Dur juga memilih pindah dari Jombang ke Jakarta.
Abdurrahman Wahid mendapat pengalaman politik pertamanya pada pemilihan umum legislatif 1982, saat berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), gabungan empat partai Islam termasuk NU.
Reformasi NU
NU membentuk Tim Tujuh (termasuk Gus Dur) untuk mengerjakan isu reformasi dan membantu menghidupkan kembali NU.
Pada 2 Mei 1982, para pejabat tinggi NU bertemu dengan Ketua NU Idham Chalid dan memintanya mengundurkan diri. Namun, pada 6 Mei 1982, Gus Dur menyebut pilihan Idham untuk mundur tidak konstitusionil. Gus Dur mengimbau Idham tidak mundur.
Pada 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa jabatan keempat oleh MPR dan mulai mengambil langkah menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara.
Dari Juni 1983 hingga Oktober 1983, Gus Dur menjadi bagian dari kelompok yang ditugaskan untuk menyiapkan respon NU terhadap isu ini.
Gus Dur lalu menyimpulkan NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara. Untuk lebih menghidupkan kembali NU, dia mengundurkan diri dari PPP dan partai politik agar NU fokus pada masalah sosial.
Pada Musyawarah Nasional NU 1984, Gus Dur dinominasikan sebagai ketua PBNU dan dia menerimanya dengan syarat mendapat wewenang penuh untuk memilih pengurus yang akan bekerja di bawahnya.
Terpilihnya Gus Dur dilihat positif oleh Suharto. Penerimaan Wahid terhadap Pancasila bersamaan dengan citra moderatnya menjadikannya disukai pemerintah.
Pada 1987, dia mempertahankan dukungan kepada rezim tersebut dengan mengkritik PPP dalam pemilihan umum legislatif 1987 dan memperkuat Partai Golkar.
Ia menjadi anggota MPR dari Golkar. Meskipun disukai rezim, Gus Dur acap mengkritik pemerintah, diantaranya proyek Waduk Kedung Ombo yang didanai Bank Dunia.
Ini merenggangkan hubungannya dengan pemerintah dan Suharto.
Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga menandingi sekolah sekular.
Gus Dur terpilih kembali untuk masa jabatan kedua Ketua PBNU pada Musyawarah Nasional 1989. Saat itu, Soeharto, yang terlibat dalam pertempuran politik dengan ABRI, berusaha menarik simpati Muslim.
Pada Desember 1990, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dibentuk untuk menarik hati intelektual muslim di bawah dukungan Soeharto dan diketuai BJ Habibie.
Pada 1991, beberapa anggota ICMI meminta Gus Dur bergabung, tapi ditolaknya karena dianggap sektarian dan hanya membuat Soeharto kian kuat.
Bahkan pada 1991, Gus Dur melawan ICMI dengan membentuk Forum Demokrasi, organisasi terdiri dari 45 intelektual dari berbagai komunitas religius dan sosial.
Pada Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan Musyawarah Besar untuk merayakan ulang tahun NU ke-66 dan merencanakan acara itu dihadiri paling sedikit satu juta anggota NU.
Soeharto menghalangi acara tersebut dengan memerintahkan polisi mengusir bus berisi anggota NU begitu tiba di Jakarta.
Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto menyatakan bahwa NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam yang terbuka, adil dan toleran.
Menjelang Musyawarah Nasional 1994, Gus Dur menominasikan diri untuk masa jabatan ketiga. Kali ini Soeharto menentangnya. Para pendukung Soeharto, seperti Habibie dan Harmoko, berkampanye melawan terpilihnya kembali Gus Dur.
Ketika musyawarah nasional diadakan, tempat pemilihan dijaga ketat ABRI, selain usaha menyuap anggota NU untuk tidak memilihnya. Namun, Gus Dur tetap terpilih sebagai ketua NU priode berikutnya.
Selama masa ini, Gus Dur memulai aliansi politik dengan Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Megawati yang popularitasnya tinggi berencana tetap menekan Soeharto.
Gus Dur menasehati Megawati untuk berhati-hati, tapi Megawati mengacuhkannya sampai dia harus membayar mahal ketika pada Juli 1996 markasnya diambilalih pendukung Ketua PDI dukungan pemerintah, Soerjadi.
Pada November 1996, Gus Dur dan Soeharto bertemu pertama kalinya sejak pemilihan kembali Gus Dur sebagai ketua NU.
Desember tahun itu juga dia bertemu dengan Amien Rais, anggota ICMI yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Juli 1997 merupakan awal krisis moneter dimana Soeharto mulai kehilangan kendali atas situasi itu. Gus Dur didorong melakukan gerakan reformasi dengan Megawati dan Amien, namun terkena stroke pada Januari 1998.
Pada 19 Mei 1998, Gus Dur, bersama delapan pemimpin komunitas Muslim, dipanggil Soeharto yang memberikan konsep Komite Reformasi usulannya. Gus Dur dan delapan orang itu menolak bergabung dengan Komite Reformasi.
Amien, yang merupakan oposisi Soeharto paling kritis saat itu, tidak menyukai pandangan moderat Gus Dur terhadap Soeharto. Namun, Soeharto kemudian mundur pada 21 Mei 1998. Wakil Presiden Habibie menjadi presiden menggantikan Soeharto.
Salah satu dampak jatuhnya Soeharto adalah lahirnya partai politik baru, dan pada Juni 1998, komunitas NU meminta Gus Dur membentuk partai politik baru.
Baru pada Juli 1998 Gus Dur menanggapi ide itu karena mendirikan partai politik adalah satu-satunya cara untuk melawan Golkar dalam pemilihan umum. Partai itu adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Pada 7 Februari 1999, PKB resmi menyatakan Gus Dur sebagai kandidat presidennya.
Pemilu April 1999, PKB memenangkan 12% suara dengan PDIP memenangkan 33% suara. Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313 suara.
Semasa pemerintahannya, Gus Dur membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial serta menjadi pemimpin pertama yang memberikan Aceh referendum untuk menentukan otonomi dan bukan kemerdekaan seperti di Timor Timur.
Pada 30 Desember 1999, Gus Dur mengunjungi Jayapura dan berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua.
Pada Maret 2000, pemerintahan Gus Dur mulai bernegosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dua bulan kemudian, pemerintah menandatangani nota kesepahaman dengan GAM.
Gus Dur juga mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang melarang Marxisme-Leninisme dicabut.
Ia juga berusaha membuka hubungan diplomatik dengan Israel, sementara dia juga menjadi tokoh pertama yang mereformasi militer dan mengeluarkan militer dari ruang sosial-politik.
Muncul dua skandal pada tahun 2000, yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate, yang kemudian menjatuhkannya.
Pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur opsional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa.
Pada 23 Juli 2001, MPR secara resmi memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Soekarnoputri.
Pada Pemilu April 2004, PKB memperoleh 10.6% suara dan memilih Wahid sebagai calon presiden. Namun, Gus Dur gagal melewati pemeriksaan medis dan KPU menolak memasukannya sebagai kandidat.
Gus Dur lalu mendukung Solahuddin yang merupakan pasangan Wiranto. Pada 5 Juli 2004, Wiranto dan Solahuddin kalah dalam pemilu. Di Pilpres putaran dua antara pasangan Yudhoyono-Kalla dengan Megawati-Muzadi, Gus Dur golput.
Agustus 2005, Gus Dur, dalam Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu bersama Try Sutrisno, Wiranto, Akbar Tanjung dan Megawati mengkritik kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, terutama dalam soal pencabutan subsidi BBM.
Kehidupan pribadi
Gus Dur menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat orang anak: Alissa Qotrunnada, Zanubba Ariffah Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari.
Yenny aktif berpolitik di PKB dan saat ini adalah Direktur The Wahid Institute.
Gus Dur wafat, hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkosumo, Jakarta, pukul 18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit, diantarnya jantung dan gangguan ginjal yang dideritanya sejak lama.
Sebelum wafat dia harus menjalani cuci darah rutin. Seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di Surabaya usai mengadakan perjalanan di Jawa Timur.
Penghargaan
Pada 1993, Gus Dur menerima Ramon Magsaysay Award, penghargaan cukup prestisius untuk kategori kepemimpinan sosial.
Dia ditahbiskan sebagai "Bapak Tionghoa" oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, pada 10 Maret 2004.
Pada 11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan Gus Dur mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006. Gus Dur dan Gadis dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan berekpresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan demokrasi di Indonesia.
Ia mendapat penghargaan dari Simon Wiethemthal Center, sebuah yayasan yang bergerak di bidang penegakan HAM karena dianggap sebagai salah satu tokoh yang peduli persoalan HAM.
Gus Dur memperoleh penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di Los Angeles karena Wahid dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas.
Dia juga memperoleh penghargaan dari Universitas Temple dan namanya diabadikan sebagai nama kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study.
Gus Dur memperoleh banyak gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dari berbagai lebaga pendidikan, yaitu:
- Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Netanya University, Israel (2003)
- Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Konkuk University, Seoul, Korea Selatan (2003)
- Doktor Kehormatan dari Sun Moon University, Seoul, Korea Selatan (2003)
- Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai University, Tokyo, Jepang (2002)
- Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Thammasat University, Bangkok, Thailand (2000)
- Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000)
- Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Sorborne University, Paris, Perancis (2000)
- Doktor Kehormatan dari Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand (2000)
- Doktor Kehormatan dari Twente University, Belanda (2000)
- Doktor Kehormatan dari Jawaharlal Nehru University, India (2000)
Biografi KH. Hamid Pasuruan
Kiai Hamid lahir pada tahun 1333 H (bertepatan dengan 1914 atau 1915 M) di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Tepatnya di dukuh Sumurkepel, desa Sumbergirang. Sebuah pedukuhan yang terletak di tengah kota kecamatan Lasem. Begitu lahir, bayi itu diberi nama Abdul Mu’thi. Itulah nama kecil beliau hingga remaja, sebelum berganti menjadi AbdulHamid.
Abdul Mu’thi kecil biasa dipanggil “Dul” saja. Tapi, seringkali panggilan ini diplesetkan menjadi “Bedudul” karena kenakalannya.Mu’thi memang tumbuh sebagai anak yang lincah, extrovert, dan nakal. “Nakalnya luar biasa,” tutur KH. Hasan Abdillah Glenmore, adik sepupu beliau. Tapi nakalnya Mu’thi tidak seperti anak-anak sekarang: yang sampai mabuk-mabukan atau melakukan perbuatan asusila. Nakalnya Mu’thi adalah kenakalan bocah yang masih dalam batas wajar, tapi untuk ukuran anak seorang kiai dipandang “luar biasa”. Sebab, sehari-hari dia jarang di rumah. Hobinya adalah bermain sepak bola dan layang-layang. Beliau bisa disebut bolamania alias gila sepak bola, dan ayahandanya tak bisa membendung hobi ini. Karena banyak bermain, ngajinya otomatis kurang teratur walaupun bukan ditinggalkan sama sekali. Dia mengaji kepada KH. Ma’shum (ayahanda KH. Ali Ma’shum Jogjakarta) dan KH. Baidhawi, dua “pentolan” ulama Lasem.
Kiai Hamid Pasuruan:
Kini Sulit Dicari Padanannya
Kiai Hamid lahir pada tahun 1333 H (bertepatan dengan 1914 atau 1915 M) di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Tepatnya di dukuh Sumurkepel, desa Sumbergirang. Sebuah pedukuhan yang terletak di tengah kota kecamatan Lasem. Begitu lahir, bayi itu diberi nama Abdul Mu’thi. Itulah nama kecil beliau hingga remaja, sebelum berganti menjadi Abdul Hamid.
Kiai Hamid lahir pada tahun 1333 H (bertepatan dengan 1914 atau 1915 M) di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Tepatnya di dukuh Sumurkepel, desa Sumbergirang. Sebuah pedukuhan yang terletak di tengah kota kecamatan Lasem. Begitu lahir, bayi itu diberi nama Abdul Mu’thi. Itulah nama kecil beliau hingga remaja, sebelum berganti menjadi Abdul Hamid.
Mu’thi memang tumbuh sebagai anak yang lincah, extrovert, dan nakal. “Nakalnya luar biasa,” tutur KH. Hasan Abdillah Glenmore, adik sepupu beliau. Tapi nakalnya Mu’thi tidak seperti anak-anak sekarang: yang sampai mabuk-mabukan atau melakukan perbuatan asusila. Nakalnya Mu’thi adalah kenakalan bocah yang masih dalam batas wajar, tapi untuk ukuran anak seorang kiai dipandang “luar biasa”. Sebab, sehari-hari dia jarang di rumah. Hobinya adalah bermain sepak bola dan layang-layang. Beliau bisa disebut bolamania alias gila sepak bola, dan ayahandanya tak bisa membendung hobi ini. Karena banyak bermain, ngajinya otomatis kurang teratur walaupun bukan ditinggalkan sama sekali. Dia mengaji kepada KH. Ma’shum (ayahanda KH. Ali Ma’shum Jogjakarta) dan KH. Baidhawi, dua “pentolan” ulama Lasem.
Ketika mulai beranjak remaja (ABG), dia mulai gemar belajar kanoragan (semacam ilmu kesaktian). Belajarnya cukup intensif sehingga mencapai taraf ilmu yang cukup tinggi. “Sampai bisa menangkap babi jadi-jadian,” tutur KH. Zaki Ubaid Pasuruan.
Meski begitu, sejak kecil ia sudah menunjukkan tanda-tanda bakal menjadi wali atau, setidaknya, orang besar. Ketika diajak kakeknya, KH. Muhammad Shiddiq (Jember), pergi haji, Mu’thi bertemu dengan Rasulullah s.a.w. Pada saat haji itulah namanya diganti menjadi Abdul Hamid.
Dipondokkan
Pada usia sekitar 12-13 tahun, Hamid dikirim ayahandanya, K.H. Abdullah Umar, ke Pondok Kasingan, Rembang. Maksud ayahandanya, untuk meredam kenakalannya. Dia tidak lama di pondok ini. Satu atau satu setengah tahun kemudian dia pindah ke Pondok Tremas, Pacitan. Pondok pimpinan KH. Dimyathi ini cukup besar dan berwibawa. Dari pondok ini terlahir banyak kiai besar. Di antaranya adalah KH. Ali Ma’shum Jogjakarta (mantan rais am PB NU), KH. Masduqi Lasem, KH. Abdul Ghofur Pasuruan, KH. Harun Banyuwangi, dan masih banyak lagi.
Walaupun kegemarannya bermain sepak bola masih berlanjut, di pesantren ini beliau mulai mendapat gemblengan ilmu yang sebenarnya. Uang kiriman orangtua yang hanya cukup untuk dipakai makan nasi thiwul tidak membuatnya patah arang. Dia tetap betah tinggal di sana sampai 12 tahun, hingga mencapai taraf keilmuan yang tinggi di berbagai bidang.
Tidak Suka Dipuja
Setelah 12 tahun belajar agama di Pondok Tremas, tokoh kita itu dipinang oleh pamandanya, KH. Achmad Qusyairi, untuk dikawinkan dengan putrinya, Nafisah.
Konon, Kiai Achmad pernah menerima pesan dari ayahandanya, KH. Muhammad Shiddiq, supaya mengambil Hamid sebagai menantu mengingat keistimewaan-keistimewaan yang tampak pada pemuda tersebut. Antara lain, saat pergi haji dulu, dia bisa berjumpa dengan Rasulullah s.a.w. Sayang, sang kakek tak sempat melihat pernikahan itu karena lebih dulu dipanggil Sang Mahakuasa.
Seperti disebut dalam surat undangan, akad nikah akan dilangsungkan pada 12 September 1940 M, bertepatan dengan 9 Sya’ban 1359 H, selepas zhuhur pukul 1 di Masjid Jami’ (sekarang Masjid Agung Al-Anwar) Pasuruan. Namun, rencana tinggal rencana. Pada waktu yang ditentukan, para undangan sudah berkumpul di Masjid Jami’, namun rombongan penganten pria tak kunjung muncul hingga jam menunjuk pukul 2. Terpaksa acara melompat ke sesi berikutnya, yaitu walimah di rumah Kiai Achmad Qusyairi di Kebonsari, di kompleks Pesantren Salafiyah.
Di sana kembali orang-orang dibuat menunggu. Ternyata, rombongan penganten pria baru datang sore hari, setelah acara walimah rampung dan para undangan pulang semua. “Anu, penganten kuajak mampir ke makam (para wali),” kata Kiai Ma’shum, yang dipercaya menjadi kepala rombongan. Apa boleh buat, akad nikah pun dilangsungkan tanpa kehadiran undangan, dan hanya disaksikan para handai tolan.
Sejak itu, Haji Abdul Hamid tinggal di rumah mertuanya. Lima atau enam tahun kemudian, Kiai Achmad pindah ke Jember, lalu pindah ke Glenmore, Banyuwangi. Tinggallah kini Kiai Hamid bersama istrinya harus berjuang secara mandiri mengarungi samudera kehidupan dalam biduk rumah tangga yang baru mereka bina. Untuk menghidupi diri dan keluarga, Kiai Hamid berusaha apa saja. Dari jual beli sepeda, berdagang kelapa dan kedelai sampai menyewa sawah dan berdagang spare part dokar.
Prihatin
Hari-hari mereka adalah hari-hari penuh keprihatinan. Makan nasi dengan krupuk atau tempe panggang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Terkadang, sarung yang sudah menerawang (karena usang) masih dipakai (dengan dilapisi kain serban supaya warna kulitnya tidak kelihatan). Tapi, Kiai Hamid tak kenal putus asa, terus berusaha dan berusaha.
Kala itu beliau belum terlibat dalam kegiatan Pesantren Salafiyah, meski tinggal di kompleks pesantren. Di tengah hidup prihatin itu, beliau mulai punya santri — dua orang — yang ditempatkan di sebuah gubuk di halaman rumah. Beliau juga mulai menggelar pengajian di berbagai desa di kabupaten Pasuruan: Rejoso, Ranggeh dan lain-lain.Sekitar 1951, sepeninggal KH. Abdullah ibn Yasin yang jadi nazhir (pengasuh) Pondok Salafiyah, beliau dipercaya sebagai guru besar pondok, sementara KH. Aqib Yasin, adik Kiai Abdullah, menjadi nazhir. Meski demikian, secara de facto, beliaulah yang memangku pondok itu, mengurusi segala tetek bengek sehari-hari, day to day karena Kiai Aqib yang muda itu, masih belajar di Lasem.
Fenomenal
Kiai Hamid benar-benar berangkat dari titik nol dalam membina Pondok Salafiyah. Sebab, saat itu tidak ada santri. Para santri sebelumnya tidak tahan dengan disiplin tinggi yang diterapkan Kiai Abdullah.
Walaupun tak ada promosi, satu demi satu santri mulai berdatangan. Prosesnya sungguh natural, tanpa rekayasa. Perkembangannya memang tidak bisa dibilang melesat cepat, tapi gerak itu pasti. Terus bergerak dan bergerak hingga kamar-kamar yang ada tidak mencukupi untuk para santri dan harus dibangun yang baru; hingga jumlah santrinya mencapai ratusan orang, memenuhi ruang-ruang pondok yang lahannya tak bisa diperluas lagi karena terhimpit rumah-rumah penduduk; hingga pada akhirnya, terdorong oleh perkembangan zaman, fasilitas baru pun perlu disediakan, yaitu madrasah klasikal.
Perkembangan fenomenal terjadi pada pribadi beliau. Dari semula hanya dipanggil “haji” lalu diakui sebagai “kiai”, pengakuan masyarakat semakin membesar dan membesar. Tamunya semakin lama semakin banyak. Terutama setelah wafatnya Habib Ja’far As-Segaf (wali terkemuka Pasuruan waktu itu yang jadi guru spiritualnya) sekitar 1954, sinarnya semakin membesar dan membesar. Kiai Hamid sendiri mulai diakui sebagai wali beberapa tahun kemudian, sekitar awal 1960-an. Pengakuan akan kewalian itu kian meluas dan meluas, hingga akhirnya mencapai taraf — meminjam istilah Gus Mus — “muttafaq ‘alaih” (disepakati semua orang, termasuk di kalangan mereka yang selama ini tak mudah mengakui kewalian seseorang).
Lurus
Ketika Kiai Hamid mulai berkiprah di Pasuruan, tak sedikit orang yang merasa tersaingi. Terutama ketika beliau menggelar pengajian di kampung-kampung. Maklumlah, beliau seorang pendatang. Ada kiai setempat yang menuduh beliau mencari pengaruh, dan menggerogoti santri mereka. Padahal, Kiai Hamid mengajar di sana atas permintaan penduduk setempat.
Ibarat kata pepatah Jawa “Becik ketitik, ala ketara”, lambat laun beliau dapat menghapus kesan itu. Bukan dengan rekayasa atau “politik pencitraan” yang canggih, melainkan dengan perbuatan nyata. Dengan tetap berjalan lurus, dan terutama dengan sikap tawadhu’, kehadiran beliau akhirnya dapat diterima sepenuhnya. Bahkan mereka menaruh hormat pada beliau justru karena sikap tawadhu’ itu.
Beliau memang rendah hati (tawadhu’). Kalau menghadiri suatu acara, beliau memilih duduk di tempat “orang-orang biasa”, yaitu di belakang, bukan di depan. “Kiai Hamid selalu ndepis (menyembunyikan diri) di pojok,” kata Kiai Hasan Abdillah.
Hormat
Beliau bersikap hormat pada siapapun. Dari yang miskin sampai yang kaya, dari yang jelata sampai yang berpangkat, semua dilayaninya, semua dihargainya. Misalnya, bila sedang menghadapi banyak tamu, beliau memberikan perhatian pada mereka semua. Mereka ditanyai satu per satu sehingga tak ada yang merasa disepelekan. “Yang paling berkesan dari Kiai Hamid adalah akhlaknya: penghargaannya pada orang, pada ilmu, pada orang alim, pada ulama. Juga tindak tanduknya,” kata Mantan Menteri Agama, Prof. Dr. Mukti Ali, yang pernah menjadi junior sekaligus anak didiknya di Pesantren Tremas.
Beliau sangat menghormat pada ulama dan habaib. Di depan mereka, sikap beliau layaknya sikap seorang santri kepada kiainya. Bila mereka bertandang ke rumahnya, beliau sibuk melayani. Misalnya, ketika Sayid Muhammad ibn Alwi Al-Maliki, seorang ulama kondang Mekah (yang baru saja wafat), bertamu, beliau sendiri yang mengambilkan suguhan, lalu mengajaknya bercakap sambil memijatinya. Padahal tamunya itu lebih muda usia.
Sikap tawadhu’ itulah, antara lain, rahasia “keberhasilan” beliau. Karena sikap ini beliau bisa diterima oleh berbagai kalangan, dari orang biasa sampai tokoh. Para kiai tidak merasa tersaingi, bahkan menaruh hormat ketika melihat sikap tawadhu’ beliau yang tulus, yang tidak dibuat-buat. Derajat beliau pun meningkat, baik di mata Allah maupun di mata manusia. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah s.a.w., “Barangsiapa bersikap tawadhu’, Allah akan mengangkatnya.”
Sabar
Beliau sangat penyabar, sementara pembawaan beliau halus sekali. Sebenarnya, di balik kehalusan itu tersimpan sikap keras dan temperamental. Hanya berkat riyadhah (latihan) yang panjang, beliau berhasil meredam sifat cepat marah itu dan menggantinya dengan sifat sabar luar biasa. Riyadhah telah memberi beliau kekuatan nan hebat untuk mengendalikan amarah.
Beliau, misalnya, dapat menahan amarah ketika disorongkan oleh seorang santri hingga hampir terjatuh. Padahal, santri itu telah melanggar aturan pondok, yaitu tidak tidur hingga lewat pukul 9 malam. Waktu itu hari sudah larut malam. Beliau disorongkan karena dikira seorang santri. “Sudah malam, ayo tidur, jangan sampai ketinggalan salat subuh berjamaah,” kata beliau dengan suara halus sekali.
Beliau juga tidak marah mendapati buah-buahan di kebun beliau habis dicuri para santri dan ayam-ayam ternak beliau ludes dipotong mereka. “Pokoknya, barang-barang di sini kalau ada yang mengambil (makan), berarti bukan rezeki kita,” kata beliau.
Pada saat-saat awal beliau memimpin Pondok Salafiyah, seorang tetangga sering melempari rumah beliau. Ketika tetangga itu punya hajat, beliau menyuruh seorang santri membawa beras dan daging ke rumah orang tersebut. Tentu saja orang itu kaget, dan sejak itu kapok, tidak mau mengulangi perbuatan usilnya tadi.
Beliau juga tidak marah ketika seorang yang hasud mencuri daun pintu yang sudah dipasang pada bangunan baru di pondok.
Penyakit Hati
Melalui riyadhah dan mujahadah (memerangi hawa nafsu) yang panjang, beliau telah berhasil membersihkan hati beliau dari berbagai penyakit. Tidak hanya penyakit takabur dan amarah, tapi juga penyakit lainnya. Beliau sudah berhasil menghalau rasa iri dan dengki. Beliau sering mengarahkan orang untuk bertanya kepada kiai lain mengenai masalah tertentu. “Sampeyan tanya saja kepada Kiai Ghofur, beliau ahlinya,” kata beliau kepada seorang yang bertanya masalah fiqih. Beliau pernah marah kepada rombongan tamu yang telah jauh-jauh datang ke tempat beliau, dan mengabaikan kiai di kampung mereka. Beliau tak segan “memberikan” sejumlah santrinya kepada KH. Abdur Rahman, yang tinggal di sebelah rumahnya, dan kepada Ustaz Sholeh, keponakannya yang mengasuh Pondok Pesantren Hidayatus Salafiyah.
Bergunjing
Menghilangkan rasa takabur memang sangat sulit. Terutama bagi orang yang memiliki kelebihan ilmu dan pengaruh. Ada yang tak kalah sulitnya untuk dihapus, yaitu kebiasaan menggunjing orang lain. Bahkan para kiai yang memiliki derajat tinggi pun umumnya tak lepas dari penyakit ini. Apakah menggunjing kiai saingannya atau orang lain. Kiai Hamid, menurut pengakuan banyak pihak, tak pernah melakukan hal ini. Kalau ada orang yang hendak bergunjing di depan beliau, beliau menyingkir. Sampai KH. Ali Ma’shum berkata, “Wali itu ya Kiai Hamid itulah. Beliau tidak mau menggunjing (ngrasani) orang lain.”
Manusia Biasa
Kiai Hamid, seperti para wali lainnya, adalah tiang penyangga masyarakatnya. Tidak hanya di Pasuruan tapi juga di tempat-tempat lain. Beliau adalah sokoguru moralitas masyarakatnya. Beliau adalah cermin (untuk melihat borok-borok diri), beliau adalah teladan, beliau adalah panutan. Beliau dipuja, di mana-mana dirubung orang, ke mana-mana dikejar orang (walaupun beliau sendiri tidak suka, bahkan marah kalau ada yang mengkultuskan beliau).
Bagaimanapun beliau manusia biasa (Rasulullah pun manusia biasa), yang harus merasakan kematian. Sabtu 9 Rabiul Awal 1403 H, bertepatan dengan 25 Desember 1982 M, menjadi awal berkabung panjang bagi msyarakat muslim Pasuruan, dan muslim di tempat lain. Hari itu, saat ayam belum berkokok, hujan tangis memecah kesunyian di rumah dalam kompleks Pesantren Salafiyah. Setelah jatuh anfal beberapa hari sebelumnya dan sempat dirawat di Rumah Sakit Islam (RSI) Surabaya karena penyakit jantung yang akut, beliau menghembuskan nafas terakhir. Inna lillahi wa inna lillahi raji’un.
Umat pun menangis. Pasuruan seakan terhenti, bisu, oleh duka yang dalam. Puluhan, bahkan ratusan ribu orang berduyun-duyun membanjiri Pasuruan. Memenuhi relung-relung Masjid Agung Al-Anwar dan alun-alun kota, memadati gang-gang dan ruas-ruas jalan yang membentang di depannya. Mereka, dalam gerak serentak, di bawah komando seorang imam, KH. Ali Ma’shum Jogjakarta, mengangkat tangan “Allahu Akbar” empat kali dalam salat janazah yang kolosal. Allahumma ighfir lahu warhamhu, ya Allah ampunilah dosanya dan rahmatilah dia.
Hamid Ahmad
Kiai Hamid lahir pada tahun 1333 H (bertepatan dengan 1914 atau 1915 M) di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Tepatnya di dukuh Sumurkepel, desa Sumbergirang. Sebuah pedukuhan yang terletak di tengah kota kecamatan Lasem. Begitu lahir, bayi itu diberi nama Abdul Mu’thi. Itulah nama kecil beliau hingga remaja, sebelum berganti menjadi AbdulHamid.
Abdul Mu’thi kecil biasa dipanggil “Dul” saja. Tapi, seringkali panggilan ini diplesetkan menjadi “Bedudul” karena kenakalannya.Mu’thi memang tumbuh sebagai anak yang lincah, extrovert, dan nakal. “Nakalnya luar biasa,” tutur KH. Hasan Abdillah Glenmore, adik sepupu beliau. Tapi nakalnya Mu’thi tidak seperti anak-anak sekarang: yang sampai mabuk-mabukan atau melakukan perbuatan asusila. Nakalnya Mu’thi adalah kenakalan bocah yang masih dalam batas wajar, tapi untuk ukuran anak seorang kiai dipandang “luar biasa”. Sebab, sehari-hari dia jarang di rumah. Hobinya adalah bermain sepak bola dan layang-layang. Beliau bisa disebut bolamania alias gila sepak bola, dan ayahandanya tak bisa membendung hobi ini. Karena banyak bermain, ngajinya otomatis kurang teratur walaupun bukan ditinggalkan sama sekali. Dia mengaji kepada KH. Ma’shum (ayahanda KH. Ali Ma’shum Jogjakarta) dan KH. Baidhawi, dua “pentolan” ulama Lasem.
Habib Syech
Nama Habib Syekh bin Abdul qadir Asseggaf sebagai pendakwah, boleh jadi belum dikenal secara luas di masyarakat. Namun di kalangan jamaah majelis shalawat atau kegiatan Maulidan, Beliau cukup dikenal. Terutama karena tokoh yang satu ini memiliki suara yang sangat merdu.
Selain itu beliau juga mencipta sendiri lagu qashidah yang nada dan iramanya dapat diterima telinga masyarakat, baik masyarakat yang akrab dengan kegiatan majelis shalawat maupun masyarakat awam.
Dengan suara yang merdu ini, habib yang satu ini berhasil memikat kalangan muda sehingga mereka menyukai qashidah dengan syair-syair yang seluruhnya bersumber dari kitab Simthud Durar tersebut. Tidak jarang pula kemudian kalangan muda ikut bergabung dalam majelis shalawat yang sudah ada.
Sebenarnya syair-syair qashidah yang dibawakan beliau bukanlah syair puji-pujian yang baru, namun Habib Syekh berhasil membentuk dan mengemas irama pembacaan maulid Tradisional menjadi lebih indah dan menggoda telinga yang mendengarnya.
Selain itu, Habib Syekh bin Abdul qadir Asseggaf ini juga suka berbagi dan memberi, meski dia sendiri terkadang dalam kekurangan. Bahkan ketika mengawali dakwahnya ke pelosok-pelosok, ia membawa nasi bungkus, untuk dibagi-bagikan kepada jamaah.
Dengan Kereta Angin
Perjalanan hidup Habib kelahiran Solo, 20 September 1961, ini cukup berliku. Beliau pernah jaya sebagai pedagang tapi kemudian bangkrut. Di saat sulit itu, Habib Syekh melakukan dakwah menggunakan kereta angin ke pelosok-pelosok untuk melaksanakan tugas dari sang guru, almarhum Habib Anis bin Alwi Alhabsyi, imam masjid Riyadh Gurawan Solo.
Pada saat itu Habib Syekh bin Abdul qadir Asseggaf juga sering diejek sebagai orang yang tidak punya pekerjaan dan habib jadi-jadian. Namun Habib Syekh tidak pernah marah atau mendendam kepada orang yang mengejeknya. Justru sebaliknya, beliau tetap tersenyum dan memberi sesuatu kepada orang tersebut.
Terkadang Habib Syekh bin Abdul qadir Asseggaf rutin memberikan ta’lim di Kebagusan, sedangkan dakwah rutinnya di kota Solo dan kota kota di jawa tengah.
Karomah KH. Kholil Bangkalan
KH KHOLIL adalah guru utama yang mencetak banyak ulama besar di Jawa Timur. Sampai sekarang, meski sudah meninggal, banyak ulama yang mengaku belajar secara gaib dengan Mbah Kholil. Banyak cara dilakukan untuk belajar kitab secara gaib dari ulama tersohor ini. Salahsatunya dengan berziarah serta bermalam di makam beliau.
Seperti pernah dikisahkan KH Anwar Siradj, pe-ngasuh PP Nurul Dholam Bangil Pasuruan. Saat mempelajari kitab alfiyah, beliau mengalami kesulit-an. Padahal, kitab yang berupa gramatika Bahasa Arab tersebut, merupakan kunci untuk mendalami kitab-kitab lain.
Kiai Anwar sudah mencoba berguru kepada kiai-kiai besar di hampir semua penjuru Jawa Timur. Tapi hasilnya nihil. Suatu ketika, seperti dikisahkan ustadz Muhammad Salim (santri Nurul Dholam), Kiai Anwar dapat petunjuk, agar mempelajari kitab alfiyah di makam Mbah Kholil.
Petunjuk gaib itu pun dilaksanakan. Selama sebulan penuh Kiai Anwar ziarah di makam Mbah Kholil Bangkalan. Di makam itu dia mempelajari kitab alfiyah. ”Akhirnya Kiai Anwar bisa menghafal alfiyah,” jelas Ustadz Salim.
Banyak ulama generasi sekarang yang meski tidak pernah ketemu fisik dan bahkan lahirnya jauh sesudah Mbah Kholil meninggal, mengakui kalau perintis dakwah di Pulau Madura ini adalah guru mereka. Bukan guru secara fisik, melainkan pembimbing secara batin.
***
MBAH Kholil sempat menimba ilmu di Mekah selama belasan tahun. Satu angkatan dengan KH Hasyim Asy’ari. Selevel di bawahnya, ada KH Wahab Chasbullah dan KH Muhammad Dahlan.
Ada tradisi di antara kiai sepuh zaman dulu, meski hanya memberi nasihat satu kalimat, tetap dianggap sebagai guru Demikian juga yang terjadi di antara 4 ulama besar itu. Mereka saling berbagi ilmu pengetahuan, sehingga satu sama lain, saling memanggilnya sebagai tuan guru.
Menurut KH Muhammad Ghozi Wahib, Mbah Kholil paling dituakan dan dikeramatkan di antara para ulama saat itu. Kekeramatan Mbah Kholil, yang sangat terkenal adalah pasukan lebah gaib.
”Dalam situasi kritis, beliau bisa mendatangkan pasukan lebah untuk menyerang musuh. Ini sering beliau perlihatkan semasa perang melawan penjajah. Termasuk saat peristiwa 10 November 1945 di Surabaya,” katanya.
Kiai Ghozi menambahkan, dalam peristiwa 10 November, Mbah Kholil bersama kiai-kiai besar seperti Bisri Syansuri, Hasyim Asy’ari, Wahab Chasbullah dan Mbah Abas Buntet Cirebon, menge-rahkan semua kekuatan gaibnya untuk melawan tentara Sekutu.
Hizib-hizib yang mereka miliki, dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang bersenjatakan lengkap dan modern. Sebutir kerikil atau jagung pun, di tangan kiai-kiai itu bisa difungsikan menjadi bom berdaya ledak besar.
Tak ketinggalan, Mbah Kholil mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan mengerahkan pasukan lebah gaib piaraannya. Di saat ribuan ekor lebah menyerang, konsentrasi lawan buyar.
Saat konsentrasi lawan buyar itulah, pejuang kita gantian menghantam lawan. ”Hasilnya terbukti, dengan peralatan sederhana, kita bisa mengusir tentara lawan yang senjatanya super modern. Tapi sayang, peran ulama yang mengerahkan kekuatan gaibnya itu, tak banyak dipublikasikan,” papar Kiai Ghozi, cucu KH Wahab Chasbullah ini.
Kesaktian lain dari Mbah Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan.
Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyub,” cerita Ghozi.
Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngloyor masuk rumah, ganti baju.
Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan Mbah Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Mbah Kholil.
”Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Mbah Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu,” papar Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman ini.
Rabu, 12 Oktober 2011
Senin, 10 Oktober 2011
Langganan:
Postingan (Atom)